Asy’ariah Tentang kebebasan dan Keterikatan Manusia
Asy’ariah memandang bahwa manusia lemah. Karena kelemahan manusia itu, ia banyak bergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Jadi menurut Asy’ariah manusia dalam perbuatannya mempunyai keterbatasan. Dalam hal ini Asy’ariah lebih dekat kepada paham jabariah. Asy’ariah di dalam pembicaraan mengenai perbuatan manusia mengemukakan suatu konsep yang terkenal yaitu teori al-kasb (acquisition, perolehan).
Iktisab, menurut Asy’ariah bahwa sesuatu terjadi dengan perantara daya yang diciptakan. Dengan demikian menjadi perolehan (kasb) bagi orang yang menggunakan daya itu dan terciptalah perbuatan. Dengan kata lain arti al-Kasb di dalam pandangan Asy’ariah sebenarnya ialah bahwa sesuatu itu timbul dari al-Maktasib (acquirer, yang memperoleh) dengan perantara daya yang diciptakan.
Teori al-Kasb dikemukakan oleh Asy’ariah, sebagaimana tersebut diatas menunjukan bahwa manusia mempunyai aktivitas dalam hubungannya dengan terciptanya perbuatan. Namun demikian setelah dikemukakan bahwa Kasb itu diciptakan Tuhan, menunjukan bahwa manusia memiliki keterikatan-keterikatan.
Hal ini sesuai dengan alasan yang dikemukakan oleh Asy’ariah berdasarkan firman Tuhan dalam QS. Ash Shafaat : 96 وَمَا تَعْمَلُوْنَ didalam ayat tersebut diartikan oleh Asy’ariah “apa yang kamu perbuat dan apa yang kami buat”. Dengan demikian ayat ini mengandung arti bahwa Allah menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatan kamu. Tegasnya bahwa dalam paham Asy’ariah perbuatan manusia diciptakan Tuhan. Jadi Kasb pada hakikatnya perbuatan Tuhan sendiri.
Selanjutnya teori kasb dapat dilihat dari apa yang dikemukakan oleh Asy’ariah mengenai perbuatan-perbuatan involunter (Harakat al-Idtirar). Kata Asy’ariah didalam perbuatan itu terdapat dua unsur, penggerak yang mewujudkan gerak dan badan yang bergerak. Penggerak adalah pembuat gerak yaitu Tuhan dan yang bergerak adalah badan manusia. Yang bergerak tidak mungkin Tuhan, karena Tuhan menghendaki tempat yang bersifat jasmani, jadi manusialah tempat berlakunya perbuatan-perbuatan Tuhan.
Tegasnya, dalam perbuatan-perbuatan, Tuhan mengambil tempat dalam diri manusia. Dengan demikian al-Kasb, sebagaimana halnya dengan involunter, merupakan perbuatan paksaan, dengan lain perkataan manusia tidak mempunyai kebebasan, tetapi terikat oleh perbuatan-perbuatan Tuhan.
Mu’tazilah tentang kebebasan dan keterikatan Manusia
Dalam sistem teologi Mu’tazilah, manusia dipandang mempunyai daya yang besar lagi bebas. Hal ini menunjukan bahwa Mu’tazilah menganut paham Qodariyah atau Free Will dan Free Act.
Al-Jubba’I seorang pemuka Mu’tazilah menerangkan bahwa manusia sendirilah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya. Manusia berbuat baik atau buruk, patuh dan tidak patuh kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri. Dan daya (Isthitha’ah) untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan. Pendapat yang sama pula dikemukakan oleh Abdul Jabbar, pemuka golongan Mu’tazilah. Ia mengatakan bahwa perbuatan manusia bukanlah diciptakan oleh Tuhan pada diri manusia tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatan itu.
Dari penjelasan diatas dapat diambil pengertian bahwa Mu’tazilah memandang Tuhan tidak mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatan-perbuatan manusia. Tegasnya, golongan Mu’tazilah berpendapat tentang kemauan dan daya hubungannya dengan perbuatan manusia dinyatakan bahwa kemauan dan daya untuk menciptakan perbuatan manusia adalah kemauan-kemauan dan daya manusia sendiri dan tidak turut di dalamnya kemauan dan daya Tuhan.
Pendapat golongan Mu’tazilah tersebut dipertahankan oleh Abdul Jabbar dengan mengemukakan alasan-alasan rasional dan ayat-ayat Al-Qur’an. Dikemukakannya, manusia dalam berterima kasih atas kebaikan-kebaikan yang diterima dari manusia lainnya atau melahirkan rasa tidak senang atas perbuatan-perbuatan tidak baik dari lainnya, maka terima kasih dan rasa tidak senang itu ditujukan kepada manusia. Kalau sekiranya perbutan baik dan buruk adalah perbuatan Tuhan dan bukan perbuatan manusia, tentunya rasa terima kasih itu akan ditujukan kepada Tuhan bukan kepada manusia.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan, bahwa golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan berbuat, tidak terikat oleh perbuatan Tuhan. Hal ini bertentangan dengan pendapat Asy’ariah. Perlu diketahui bahwa kebebasan yang dimuliki oleh manusia tidak mutlaq, terbatas oleh yang tidak dapat dikuasai oleh manusia sendiri, seperti hidup di muka bumi yang kemudian mati.
Maturidiah Bukhara tentang kebebasan dan keterikatan
Maturidiah sebagaimana yang dikemukakan diatas terdiri dari golongan Mutaridiah Bukhara dan Maturidiah Samarkand.
Maturidiah Bukhara lebih condong kepada paham Asy’ariah.
Soal perbuatan manusia, Maturidiah Bukhara sebagaimana dikemukakan oleh Al-Bazdawi mengenai kehendak, daya dan perbuatan manusia nampak adanya keterikatan dengan Tuhan. Dikatakannya, untuk mewujudkan perbuatan perlu ada dua daya, manusia tidak mempunyai daya untuk menciptakan, hanya Tuhan yang dapat menciptakan, termasuk perbuatan manusia. Jadi, daya yang ada pada manusia hanya bisa untuk melakukan perbuatan. Jadi, manusia hanya dapat melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan bagi manusia.
Selanjutnya Al-Bazdawi mengatakan bahwa didalam perwujudan perbuatan terdapat dua yaitu, perbuatan manusia dan perbuatan Tuhan. Perbuatan Tuhan adalah penciptaan perbuatan manusia dan bukan penciptaan daya. Seperti halnya perbuatan duduk, demikian Al-Bazdawi mencontohkan, adalah suatu perbuatan yang diciptakan Tuhan. Melakukan perbuatan duduk dengan daya yang di ciptakan Tuhan adalah perbuatan manusia. Disini Al-Bazdawi ingin menjelaskan bahwa perbuatan manusia sesungguhnya diciptakan Tuhan, tidaklah perbuatan Tuhan. Ia menjelaskan bahwa manusia memiliki kebebasan dalam kemauan dan perbuatannya. Akan tetapi, kebebasan dalam paham ini dalam arti yang kecil sekali. Perbuatan manusia hanyalah melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan, lebih tepat dikatakan bukan menciptakan tetapi melakukan perbuatan, menciptakan perbuatan lebih efektif dari pada melakukan. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa perbuatan manusia dari teori ini adalah perbuatan Tuhan bukan perbuatan manusia.
Dari sinilah dikatakan bahwa Maturidiah Bukhara lebih condong kepada Asy’ariah, manusia tidak efektif dalam mewujudkan perbuatannya, dengan kata lain manusia dalam berbuat memiliki keterikatan
Maturidiah Samarkand tentang kebebasan dan keterikatan.
Maturidiah Samarkand dalam pendapatnya mengenai perbuatan manusia adalah juga ciptaan Tuhan. Disebutnya ada dua perbuatan, yaitu perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Perbuatan Tuhan mengambil bentuk penciptaan daya dalam diri manusia dan pemakaian daya itu sendiri adalah perbuatan manusia.
Daya diciptakan bersama-sama dengan perbuatan, berbeda dengan pendapat Mu’tazilah bahwa daya diciptakan lebih dahulu dari pada perbuatan. Perbuatan manusia dikemukakan oleh Maturidiah Samarkand adalah perbuatan manusia yang sebenarnya bukan dalam arti kiasan. Sehingga apa yang disebut pemberian upah dan hukuman didasarkan atas pemakaian daya yang diciptakan. Dengan kata lain, manusia diberi hukuman atas kesalahan pemakaian daya dan diberi upah atas pemakaian daya yang benar.
Memperhatikan pendapat golongan Maturidiah Samarkand bahwa daya adalah yang diciptakan dalam diri manusia, dan bahwa perbuatan manusia adalah perbuatan manusia dalam arti sebenarnya, maka daya untuk berbuat itu adalah mesti daya manusia. Dengan demikian manusialah yang mewujudkan perbuatan.
Menyinggung apa yang sudah dikemukakan mengenai hukuman dan upah, dinyatakan bahwa kehendak manusialah yang sebenarnya menentukan pemakaian daya, apakah untuk kebaikan atau untuk kejahatan. Tergantung kepada benar atau tidaknya pemakaian daya. Karena pemakaian dayalah manusia diberi upah dan hukuman. Dengan demikian menurut pandangan Maturidiah Samarkand, mempunyai kebebasan memilih yang terbatas kepada kemauan memilih pemakaian daya yang telah diciptakan Tuhan pada diri manusia. Ini berarti perbuatan manusia mempunyai wujud atas kehendak Tuhan, bukan kehendak manusia. Kalau demikian halnya mengandung arti bahwa didalam perbuatan manusia terdapat keterikatan atas paksaan.
Selanjutnya Maturidiah Samarkand berpendapat mengenai perbuatan manusia yang juga sebagai pengikut Imam Hanafi mengajukan paham Masyiah (kemauan) dan Ridha (kerelaan). Manusia melakukan perbuatan baik dan buruk atas kehendak Tuhan, tetapi tidak selamanya dengan kerelaan Tuhan. Tegasnya manusia berbuat baik atas kehendak Tuhan dengan kerelaan-Nya, dan manusia berbuat buruk juga atas kehendak Tuhan, tetapi tidak atas kerelaan Tuhan. Dengan demikian Maturidiah Samarkand memandang kebebasan manusia berbuat lebih kecil di banding dengan pandangan Mu’tazilah. **
KESIMPULAN
1. Golongan Asy’ariah berpendapat bahwa manusia dalam berbuat mempunyai keterbatasan. Perbuatan manusia dibatasi oleh perbuatan Tuhan. Daya untuk berbuat adalah daya Tuhan bukan daya manusia. Teori al-Kasb dan Harkah al-Idtirar yang dikemukakan oleh Asy’ariah memberi pengertian bahwa manusia merupakan tempat untuk berlakunya perbutan Tuhan. Pendapat golongan Asy’ariah ini berdasarkan firman Tuhan dalam surat As-Safaat : 96. dan surat Al-Insan : 30.
2. Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa manusia didalam berbuat mempunyai kebebasan. Perbuatan yang dilakukan manusia adalah perbuatan manusia sendiri bukan perbuatan Tuhan. Daya Tuhan tidak mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatan manusia. Kemauan dan daya untuk mewujudkan perbuatan manusia adalah kemauan dan daya manusia sendiri, kemauan dan daya Tuhan tidak turut campur didalamnya. Manusia akan memperoleh balasan dari perbuatannya, sebagaimana firman Tuhan dalam surat As-Sajadah : 17 dan surat Al-Kahfi : 29.
3. Golongan Maturidiah Bukhara berpendapat bahwa, manusia dalam berbuat mempunyai kebebasan, dalam pemakaian daya yang diciptakan Tuhan pada diri manusia, manusia tidak mempunyai daya untuk menciptakan. Perbuatan baik yang diperbuat manusia adalah perbuatan manusia sesuai dengan Ridha Tuhan, dan perbuatan buruk yang diperbuat manusia adalah perbuatan manusia tetapi tidak sesuai dengan keridhaan Tuhan.
4. Golongan Maturidiah Samarkand berpendapat mengenai manusia dalam berbuat, sejalan dengan pendapat Maturidiah Bukhara. Perbuatan manusia adalah perbuatan dalam arti yang sebenarnya bukan dalam arti kiasan. Manusia diberi upah oleh Tuhan atas dasar pemakaian yang benar dari daya yang telah diciptakan Tuhan pada diri manusia. Demikaian juga manusia diberi hukuman atas dasar kesalahan pemakauan daya yang telah diciptakan Tuhan pada diri manusia.
No comments:
Post a Comment