Thursday, March 18, 2010

Filsafat Manusia

A. Metode Memahami Hakikat Manusia
Ada beberapa cara atau metode yang dapat ditempuh, untuk memahami hakikat manusia, dan cara atau metode itu antara lain, yang pertama ialah melalui pendekatan bahasa, yaitu bagaimana bahasa itu dipakai untuk menyebut manusia, apa arti kata manusia, yang secara semantik bisa diusut maknanya, terutama dari asal kata yang dipakai dalam suasana kultur asalmua. Manusia disebut juga sebagai insan yang berasal dari bahasa arab yaitu kata insan dari asal kata nasiya, artinya lupa, dan jika dilihat dari kata dasar al-uns, maka artinya jinak. Dengan demikian kata insan yang dipakai untuk menyebut manusia, karena manusia itu mempunyai sifat lupa, dan jinak artinya manusia selalu bisa menyesuaikan diri dengan keadaan baru di sekitarnya.
Disamping itu, pendekatan bahasa juga mengambil makna terhadap pemakaian kata manusia dalam berbagai proses hubungan dan kegiatan komunikasi antar manusia, bagaimana kata itu dipakai dalam konteks budaya yang ada, serta dalam konteks apa dan situasi yang bagaimana kata itu biasa digunakan, yang membedakannya dengan kata yang lain, seperti binatang, malaikat atau yang lainnya. Karena dari konteks pemakaian kata tersebut, maka akan terlihat kekhasan penggunaannya, dan dari situ bisa diambil pengertian tentang manusia, seperti penggunaan simbol-simbol tertentu dalam berbagai aspek kehidupannya, sehingga dari sudut simbol ini, maka manusia pada hakikatnya adalah makhluk penuh simbolis, bahkan kebudayaan sesungguhnya merupakan wujud simbolis dari eksistensinya sendiri.
Yang kedua adalah melalui cara keberadaannya yang sekaligus membedakannya secara nyata dengan cara keberadaan makhluk yang lainnya, seperti kenyataan sebagai makhluk yang berjalan diatas dua kaki, dan juga kemampuannya berpikir yang hanya dimiliki manusia, sehingga melalui keberadaan berpikirnya itu, hakikat manusia ditentukan.
Yang ketiga adalah melalui karya yang dihasilkannya, karena melalui karyanya seseorang menyatakan kualitas dirinya, karena hanya diri yang berkualitaslah yang akan melahirkan karya yang berkualitas pula
Disamping ketiga pendekatan tersebut diatas, masih ada lagi yang kiranya layak untuk dipertimbangkan yaitu pendekatan teologis. Pendekatan teologis (Quranik) yang dimaksud adalah bagaimana memahami manusia dari sudut pandangan penciptanya, yaitu melalui firman-firman Tuhan yang diturunkan dan tertulis dalam kitab suci.
Dalam filsafat islam, melalui pendekatan teologis (quranik), diharapkan dapat melengkapi sisi trandensental yang tidak didapatkan pada ketiga pendekatan diatas, sehingga dapat diperoleh pemahaman yang lebih fundamental, karena jika dilihat dari sisi logika adanya ciptaan dan pencipta, maka yang paling tahu penciptaan, sudah barang tentu penciptanya sendiri. Oleh karena itu, pengetahuan pencipta tentang ciptaannya jauh lebih lengkap dari pada pengetahuan ciptaan tentang dirinya sendiri.

B. Penciptaan Manusia.
Secara individual, seseorang memang tidak terlibat dan tidak mempunyai andil sedikitpun dalam prises penciptaan dirinya, penciptaan dirinya sepenuhnya berada dalam mekanisme yang terkendali dalam hukum-hukum alam, yang bisa dipelajari dan dikuasai oleh manusia, bahkan dengan tingkat kemajuan yang pesat di bidang ilmu dan teknologi, sekarang ini dapat direkayasa secara genetik, sehingga dapat ditentukan suatu model genetik seseorang yang akan dilahirkan. Meskipun demikian, tetap saja seseorang secara individualitas tidak pernah terlibat sedikitpun dalam proses penciptaan dan kelahiran dirinya sendiri. Oleh karena itu Al-Qur’an 70:39 dikatakan :
كَلاَّ اِنَّا خَلَقْنَاهُمْ مِمَّايَعْلَمُوْنَ.
Artinya : Sekali-kali tidak! Sesungguhnya kami ciptakan mereka dari apa yang yang mereka ketahui.

Secara fisik sesuatu yang membentuk tubuh manusia itu, bisa diketahui melalui penguasaan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan proses penciptaan manusia, baik ilmu biologi, genetik, kedokteran, kebidanan, kesehatan dan mungkin ilmu yang lainnya, secara proses penciptaan manusia itu, secara fisik prosesnya berjalan secara tahap demi tahap. Al-Qur’an 71:14 mengatakan:
وَقَدْ خَلَقْكُمْ أَطْوَارَا
Artinya : Dan sesungguhnya Dia telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkat kejadian.

Secara fisik tahapan-tahapan dalam proses penciptaan itu, adalah tahapan-tahapan perubahan bentuk, sehingga pada bentuk akhir mencapai kesempurnaan bentuk sebagai manusia. Al-Qu’an 39:6 mengatakan:
يَخْلُقُكُمْ فِي بُطُوْنِ اُمَّهَاتِكُمْ خُلْقٌامِنْ بَعْدِ خَلْقٍ فِي ظُلُمَاتِ ثَلاَثٍ ذًلِكُمُ اللهُ رَبُّكُمْ لَهُ الْمُلْكُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ فَاَنَّى تُصْرَفُوْنَ.
Artinya : Dia menciptakan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Itulah Allah, Tuhan kamu yang bagiNya seluruh kekuasaan, tidak ada Tuhan selain Dia, maka bagaimana kamu dapat dipalingkan?.

Proses awal pembentukan tubuh manusia berasal dari tanah, seperti yang dijelaskan Al-Qur’an 23:12:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا اْلاِنْسَانَ مِنْ سُلاَلَةٍ مِنْ طِيْنِ.
Artinya : Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari saripati tanah.

Saripati tanah yang menumbuhkan tanaman-tanaman yang menjadi bahan makanan yang dibutuhkan untuk pembentukan dan pertumbuhan fisik atau tubuh manusia, karena pertumbuhan tubuh manusia sepenuhnya ditentukan oleh makanannya. Al-Qur’an 21:8 mengatakan:
وَمَا خَلَقْنَاهُمْ جَسَدًا لاَ يَأْكُلُوْ نَ الطَّعَامَ وَمَا كَانُوْا خَالِدِيْنَ.
Artinya : Dan tidaklah kami jadikan mereka tubuh-tubuh yang tiada memakan makanan, dan tidak pula keadaan mereka kekal.

Secara fisik, tubuh manusia sepenuhnya dibentuk oleh proses mekanisme alam yang menghidupkan tanam-tanaman sebagai bahan pokok makanan yang diperlukan bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup manusia.
Disamping itu, dalam tubuh manusia terdapat daya tumbuh dan berkembang, sehingga proses pembentukan terus berlanjut sehingga menjadi bentuk manusia yang sempurna, dan pertumbuhan serta perkembangan itu dimungkinkan karena adanya daya hidup dalam tubuhnya. Menurut Al-Qur’an 21:30 mengatakan:
اَوَلَمْ يَرَ الَّذِيْنَ كَفَرُوا اَنَّالسَّمَوَاتِ وَاْلاَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَا هُمَا وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْئٍ حَيَّ أَفَلاَ يُؤْمِنُوْنَ.
Artinya : Dan apakah orang yang kufur tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian kami pisahkan antara keduanya, dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tidak percaya?

Daya hidup itu bermula dari air, baik untuk kehidupan bumi yang menumbuhkan tetumbuhan dan tanaman yang dihidupkan melalui air hujan yang diturunkan Allah dari langit (Al-Qur’an 20:53) maupun untuk penciptaan jenis-jenis hewan, yang berjalan melata maupun yang berjalan dengan kaki dua atau kaki empat (Al-Qur’an 24:45) serta kehidupan manusia sendiri juga dimulai dari air, yaitu sperma, seperti yang ditegaskan Al-Qur’an 32:8 sebagai berikut:
ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهُ مِنْ سُلاَلَةٍ مِنْ مَاءٍ مَهِيْنٍ.
Artinya : Kemudian dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina.

Setelah melalui tahapan-tahapan tanah, yang dihidupkan melalui hujan dan menghidupkan tanaman-tanaman sebagai bahan makanan untuk menghidupkan manusia yang kemudian membentuk fisik tubuh manusia, maka dalam tubuh manusia terbentuk cairan sperma, maka kehidupan manusia sesungguhnya dimulai dari cairan sperma yang ditumpahkan dan tersimpan dalam rahim. Maka setelah melalui beberapa proses pembentukan, terjadilah wujud manusia yang sempurna dan menurut Al-Qur’an setelah bentuk manusia itu sudah sempurna, yaitu setelah mempunyai mata, telinga dan hati, maka barulah Allah menganugrahkan ruh kedalam tubuh manusia itu, dan melalui ruh itu berfungsilah pendengaran, penglihatan dan hati nurani.

C. Konsep Ruh
Mengapa manusia harus mengetahui tentang ruh? Ya, karena dalam kehidupan ini manusia mempunyai hak dan dibebani tanggung jawab, dimana secara etika menghadapi keharusan memilih dan menghadapi pertanggungjawaban atas pilihannya, dan dalam agama bahkan manusia memikul dosa atas perbuatan jeleknya, sehingga ada pertanggungjawaban terhadap dirinya.
Oleh karena itu, secara etika dan agama, ruh itu harus dimengerti dan juga berarti sesuatu yang dapat dimengerti oleh kemampuan yang ada dalam diri manusia sendiri. Persoalannya adalah bagaimanakah cara yang dapat dilalui manusia untuk mengerti dan mengetahuinya itu?
Dalam filsafat Islam, seperti yang dijelaskan Al-Qur’an bahwa ruh itu datang dan diberikan langsung oleh Tuhan kepada manusia, maka cara yang layak ditempuh untuk mengetahuinya tentu dengan cara mengetahui bagaimana Tuhan sendiri menjelaskan tentang ruh, dan salah satunya adalah kitab suci itu sendiri, sebagai kumpulan dan sabda-sabda Allah yang tersurat.
Firman Allah 17:85 yang mengatakan:
وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الرُّوْحِ قُلِ الرُّوْحُ مِنْ اَمْرِ رَبِّى وَمَا أُوْتِيْتُمْ مِنَ الْعِلْمِ اِلاَّ قَلِيْلاَ.
Artinya : Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah: ruh adalah amr (urusan, pimpinan, arah) Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.

Oleh karena amr itu dipahami sebagai urusan Tuhan maka hanya Tuhan sendiri yang tahu, manusia tidak tahu, apalagi ada larangan untuk memikirkan Tuhan, seperti yang diisyaratkan oleh sebuah hadits : Tafakkaru fi khalqillah wa la tafakkaru fi zatillah. Dalam hadits ini sesungguhnya yang dilarang untuk dipikirkan adalah zat Tuhan, dan memang zat Tuhan tidak dapat menjadi kajian ilmu, bahkan kalau ilmu atau pikiran dipakai untuk mengkaji zat Tuhan, sudah barang tentu keliru dalam metodologis, mengapa tidak dipakai analisis terbalik, sehingga melalui memikirkan ciptaan Tuhan, maka manusia akan dapat memahami Penciptanya, yaitu Tuhan, sehingga hadits diatas justru memberikan pedoman dan arah metodologis, dengan memahami Tuhan melalui karya ciptaan-Nya sendiri.
Jika dikaji lebih jauh, letak persoalannya lebih pada pemahaman tentang kata amr yang dalam bahasa arab, sesungguhnya mempunyai banyak arti bukan hanya urusan saja, tapi juga berarti perintah pimpinan dan arah. Mengapa kemudian yang diambil pengertian dari kata amr ini dengan urusan padahal akan lain halnya kalau arti kata yang diambil dari amr itu adalah pimpinan atau arahan, yaitu pimpinan dan arahan tuhan yang ada dalam diri manusia seperti yang dilakukan oleh Sir Mohammad Iqbal yang memberikan arti kata amr sebagai direction.

D. Kedudukan dan Peranan Manusia
Secara ontologi kodrat manusia pada dasarnya adalah makhluk, artinya diciptakan dan sebagai ciptaan sudah semestinya dirancang untuk tujuan dan fungsi tertentu dan menetapkan rancangan tujuan dan fungsi itu bukan dirinya sebagai ciptaan tapi Allah sebagai pencipta dalam kisah diciptakanNya Adam a.s Al-Qur’an 2:30 menyatakan:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِى الأَرْضِ خَلِيْفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّى أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُوْنَ.
Artinya : Dan ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat; sesungguhnaya Aku akan menjadikan seorang khalifah, mereka berkata, mengapa Engkau akan menjadikannya di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuja dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman; Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.

Untuk menjadi seorang khalifah fil ardli, atau wakil Tuhan di bumi, maka Tuhan membekali dengan pengetahuan konseptual.
Melalui pengetahuan konseptualny, manusia meneruskan tugas penciptaan, yaitu membentuk sesuatu yang sudah ada menjadi ada yang baru, karena alam yang ada bukan seperti benda cetakan yang sudah selesai, tetapi mengandung potensi perubahan untuk menampung proses kreatifitas manusia sebagai khalifahnya.
Dengan demikian, pengetahuan konseptual yang mempunyai kemampuan kreatif yang bertemu dan berhubungan dengan potensi perubahan yang dikandung alam untuk menampung kreatifitas manusia sehingga proses penciptaan terus berlangsung, membentuk alam kebudayaan besar dan satuan alam kebudayaan kecil untuk kemakmuran dan kesejahtraan hidup manusia.
Posisi khalifah pada dasarnya harus dijalankan tanpa mengabaikan posisi moral manusia sebagai makhluk yang diciptakan yang menempati posisi hamba Tuhan atau ‘abd. Sebagai ‘abd, kemampuan kreatifitasnya yang menempatkan manusia sebagai pencipta kedua seharusnya mengabdikan kemampuan kreatifnya itu untuk menjabarkan hukum-hukum Allah, baik hukum alam, hukum akal sehat dan hukum moralitas keagamaan. Posisi kodrat semua makhluk di muka bumi adalah ‘abd dan tunduk kepada Tuhan. Sesungguhnya bagi seorang hamba, ‘abd tunduk dan berserah diri kepada Tuhan adalah jalan yang tepat, jalan yang lurus.

E. Hakikat Manusia
Dalam konsep filsafat Islam, hakikat manusia tidak dilihat kepada unsur-unsur yang membentuk dirinya, pada orientasi berfikir yang mencari substansi pokok yang melatarbelakangi adanya, atau orientasi berfikir pada fokus perhatian pada masa lalunya, tetapi hakikat manusia harus dilihat pada tahapannya sebagai nafs, keakuan, diri, ego dimana pada tahapan ini, semua unsur membentuk kesatuan diri yang aktual, kekinian dan dinamik, dan aktualisasi kekinian yang dinamik sesungguhnya ada pada perbuatan atau amalnya. Seperti yang digambarkan oleh ketidakmaunnya para setan untuk tunduk pada manusia, karena secara substansial manusia dipandang lebih rendah daripada dirinnya, manusia diciptakan dari tanah, sementara mereka diciptakan dari api.
قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلاَّ تَسْجُدُ إِذْ أَمَرْتُكَ قَالَ اَنَّا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِيْنِ.
Artinya : Allah berfirman; apakah yang menghalangi kamu tidak sujud ketika Aku memerintahkan mu? Ia menjawab; aku lebih baik daripadanya, Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia diciptakan dari tanah.

Secara moral manusia sesungguhnya lebih jelek daripada malaikat, dan secara substansial manusia juga lebih jelek daripada setan, akan tetapi secara konseptual manusia lebih baik daripada keduanya, karena dengan kemampuan kreatifnya, manusia mempunyai kemampuan menciptakan, suatu kemampuan yang tidak dimiliki oleh keduanya, itulah sebabnya Tuhan memerintahkan kepada keduanya untuk tunduk, tetapi setan tidak mau, dan akan mengancam serta menjadi musuh abadi manusia.
Dalam tahapan nafs, hakikat manusia ditentukan oleh kualitas amal, karya dan perbuatannya, kelompok sosial dan golongan, ataupun bidang yang menjadi profesinya.
Dalam kaitannya dengan konsep tauhid, maka hakikat manusia dan fungsinya sebagai ‘abd dan khalifah dan kesatuan aktualisasi berbagai unsur-unsur yaitu jasad, hayat dan ruh yang membentuknya pada tahapan diri atau nafs yang aktual. Dengan kata lain, manusia hakikatnya adalah monodualis dan monopluraris yang aktual, dinamis, untuk mewujudkan karya kesalehan di muka bumi, sebagai jalan pengabdiannya kepada Tuhan.

F. Tujuan Hidup Manusia
Pada hakikatnya tujuan hidup manusia adalah mencapai perjumpaan kembali dengan Tuhan. Perjumpaan kembali itu tidak bersifat materi, seperti kembalinya air hujan ke laut, dan secara materi manusia memang tidak kembali kepada Tuhan, tetapi kembali ke asal materi yang membentuk jasadnya.
Dengan demikian, pertemuan itu terjadi pada tahapan nafs, yang sepenuhnya bersifat spiritual, karena hakikat nafs adalah spiritual, dan dengan sangat indah Tuhan memang berkehendak untuk memanggilnya kembali, seperti yang digambarkan Al-Qur’an 89:27-30 yang menerangkan:
يَاأَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ  إِرْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً  فَادْخُلِي فِى عِبَادِيْ  وَادْخُلِيْ جَنَّتِيْ 
Artinya : Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, Masuklah ke dalam syurga-Ku.

Dalam konsep filsafat Islam, ketauhidan juga tercermin sebagai jalan untuk berjumpa dengan Tuhan, yaitu jalan menuju pertemuan nafs terbatas, diri manusia, dengan Nafs Mutlak, diri Tuhan, yang hanya dimungkinkan melalui ketauhidan antara iman dan amal shaleh, karena dalam Islam, antara iman dan amal shaleh adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan, sehingga iman tanpa amal adalah bohong.
Dengan demikian, sifat perjumpaan dua nafs, yaitu nafs yang terbatas, dengan nafs yang tidak terbatas, bukan perjumpaan yang statis, tetapi perjumpaan yang dinamis yang sarat muatan kreatifitas, dalam dimensi spiritualitas yang bercahaya, sehingga terjadi pencerahan dalam terang cahaya-Nya, yang menerangi hukum-hukum-Nya, baik hukum alam, hukum akal sehat dan hukum moralitas kemanusiaan universal dan agama. Terangnya hukum-hukum itu akan menerangi proses penciptaan yang dicapai manusia pada dataran nafs yang kreatif, sehingga terjadi kreatif antara Tuhan dan manusia, dan melalui kreatifitasnya manusia menaiki tangga mi’raj, memasuki cahaya-Nya, cahaya kreatifitas abadi.

G. Golongan Manusia
Al-Ghazali membagi umat manusia kedalam tiga golongan:
1. Kaum awam, yang cara berfikirnya sederhana sekali
2. Kaum pilihan (الخواص), yang akalnya tajam dan berfikir secara mendalam
3. Kaum penengkar (اهل الجدال)
Sebagai filosof-filosof dan ulama-ulama lain, al-Ghazali dalam hal ini, membagi manusia kedalam dua golongan besar, awam dan khawas, yang daya tangkapnya tidak sama, dan oleh karena itu apa yang dapat diberikan kepada golongan khawas tidak selamanya dapat diberikan kepada kaum awam, dan sebaliknya pengertian kaum awam dan kaum khawas tentang hal yang sama tidak selamanya sama, tetapi acap kali berbeda, dan berbeda menurut daya berfikir masing-masing. Kaum awam membaca apa yang tersurat, dan kaum khawas membaca apa yang tersirat.

No comments:

Post a Comment

Link Sahabat